Jumat, 08 November 2013

Resensi "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah"


Judul buku: Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


Ini buku Tere Liye yang kubaca setelah Bidadari Bidadari Surga. Novel Bidadari Bidadari Surga-lah yang membuat aku tergugah untuk membaca buku-buku Tere Liye yang selanjut-selanjutnya. Sebenernya tertarik untuk membaca novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau merah ini karena quotes yang sering di-share oleh Tere Liye lalu beliau juga merekomendasikan, "Untuk orang-orang yang masih bingung tentang perasaan, saya rekomendasikan buku 'Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah'". Apalagi menceritakan tentang perasaan. Keinginan untuk memiliki buku ini sangat besar ketika saya bingung mengenai perasaan. Bukankah jatuh cinta merupakan hal yang wajar? Tapi kalo setiap hari mengikuti perasaan untuk terus-terusan mikirin dia, bukankah ada yang salah dengan perasaan? Penasaran kan, gimana 'perasaan' dari sudut pandang laki-laki, yang penulisnya notabene seorang laki-laki: Darwis Tere Liye.


Kalo biasanya novel romantis dilatarbelakangi oleh Menara Eiffel (Paris), nah yang ini berbeda. Tere Liye mengambil latar belakang di Sungai Kapuas, yang membuatku berargumen, "oh ternyata Sungai Kapuas ini tempat yang lebih romantis dibandingkan Menara Eiffel." Ngga cuma latar belakangnya aja yang berbeda, tapi kerja keras si tokoh utama juga diceritain dengan detail. Pernah, ngga baca novel yang tau-tau-aja-udah-sukses-kayaraya? Pasti ada. Nah, kisah tokoh utama di sini, yaitu Borno, diceritakan mengalami fase hidup: mencari pekerjaan, bertemu pujaan hatinya, harap-harap cemas ketika akan bertemu dgn pujaan hati. Ia seperti manusia pada umumnya, bukan? Yang membedakan Borno dengan sebagian banyak orang mungkin sifatnya yang jujur, pekerja keras, sederhana. Sehingga Pak Tua meyakinkan Borno dengan ucapan saktinya, "Untuk orang-orang yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana maka definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan."

Hal ini meyakinkan aku bahwa cinta sejati ngga hanya dimiliki orang-orang cantik-ganteng, kaya, dan ungkapan kesempurnaan lainnya. Pak Tua, si pemilik kata-kata yang menentramkan hati, selalu memberikan nasehat terbaik untuk Borno. Bagiku, inilah kata pamungkas yang diucapkannya, "Percayalah, jika dia cinta sejatimu, mau semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang." 

Dengan membaca kata-kata itu, ternyata benar. Adaaaa saja yang 'serba kebetulan' antara Borno dan pujaan hatinya, Mei. Borno selalu berusaha dengan berbagai upayanya untuk bertemu Mei, tapi langit selalu punya skenario. Bahkan skenario tersebut selalu lebih baik dari yang diduganya. Seperti misalnya, saat di Surabaya, Borno mencari nomer telpon kediaman rumah ayahnya Mei. Berkali-kali Borno coba menelpon di telpon umum dengan melihat buku kuning tebal itu, tapi ngga ada yang berhasil. Sia-sia. Sampai akhirnya Borno kembali ke klinik untuk menukar uangnya (lagi) dengan recehan. Petugas klinik prihatin, sampai akhirnya membolehkan Borno untuk menggunakan telpon klinik. Tiba-tiba terdengar suara, "Abang Borno?" Aaaaa surprise!! Mei ternyata sedang berada di klinik yang sama. Akankah Borno akan bersama Mei dikehidupannya kelak? Baca buku ini :D Perasaan, perasaan.. takkan ada habisnya membahas tentang perasaan.


Percaya, ngga pernah ngerasa ngabisin waktu dengan percuma kalo ngebaca buku-buku karangan Tere Liye karena di setiap kisahnya, selalu ada pesan-pesan yang bikin jleb. Tak hanya pesan moral saja tetapi juga kehidupan realitas yang apa adanya. Salah satu hal yang menjadi ciri khas tulisan Tere Liye ialah ada kisah kematian. Kenapa? Tere Liye bilang karena "... kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi."